Jadilah The Walking QUR’AN –
Kita sering mendengar istilah “kamus berjalan”. Istilah ini biasanya
ditunjukan kepada orang yang daya hafalannya begitu kuat sehingga apa
yang ditanyakan kepadanya mampu iya jawab. Orang tersebut sebuah bak
komputer yang mampu menyediakan data apapun yang diminta. Rumus
matematika, kamus bahasa istilah ilmiah, semua bisa disajikan. Tak heran
bila banyak yang terbantu dengan kehadiran orang tersebut.
“The
Walking QUR’AN” atau “Qur’an Berjalan“ lebih dari sekedar itu. Orang
yang disebut “The Walking QUR’AN“ bisa dijadikan tempat bertanya,
sekaligus juga sebagai tauladan. Iya tak hanya hafal-hafal ayat-ayat Al-Qur’an
tapi mampu memahami dan menjalankannya dengan baik. Kehadirannya tak
sekedar membantu, tapi juga menuntun manusia keluar dari dunia yang
gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang ( Ibrahim [14]:1).
Sulitkah
menjadi “The Walking QUR’AN”? Tidak! Allah subhanahu Wata’ala
menjanjikan dalam Qur’an Surat Thaaahaaa [20] ayat 2 bahwa Al-Qur’an tak akan membuat manusia menjadi susah. Itu berarti,semakin kita ber-Qur’an semakin kita mudah.
Lalu, bagaimana caranya? Kajian utama kali ini akan menguraikannya secara rinci. Mari menjadi “The Walking QUR’AN”.
Pribadi Qur’ani yang Agung
“Kalau sekiranya kami menurunkan Al-Qur’an
ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk dan
terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.”
(Al-Hasyr [59]:21.)
Ibnu
katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurunkan ayat tersebut untuk menggugah kesadaran manusia tentang
kedasyatan Al-Qur’an.
Bayangkan, gunung yang keras dan tuli bisa begitu takutnya sama
Al-.Qur’an. Lalu bagaimana dengan manusia yang jelas-jelas dikaruniai
hati, penglihatan dan pendengaran?
Allah SWT menyadarkan bahwa Al-Qur’an bisa mengubah hidup manusia yang lemah dangan mengimani Al-Qur’an,
akan berubah menjadi kuat. Manusia berakhlak bobrok menjadi mulia,
bahkan bangsa yang tadinya rendah menjadi tinggi dan berwibawa. Kitab
ini bisa mengantar manusia mengubah wajah peradabannya.
Benarlah sabda Rasulullah SAW seperti diriwayatkan Muslim “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an ini suatu bangsa dengan merendahkan bangsa yang lain.”
Pribadi Qur’ani.
Suatu
hari ‘Aisyah Ra ditanya sahabat tentang pribadi Rasulullah. Ia menjawab
dengan kalimat singkat: ”Beliau berkepribadian Qur’ani”.
Sekalipun menjawabnya pendek, tapi para sahabat sudah paham. Mereka tak lagi menanyakan kepribadian Qur’ani itu.
Setiap
Nabi mendapat pujian dari Allah SWT karena keistimewaan yang
dikaruniakan kepada mereka. Sedangkan pujian yang diberikan kepada Muhammad saw:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS Al-Qalam 68:4)
Pada
mulanya berakhlak Qur’ani itu “aneh” di tengah masyarakat yang memuja
materi dan berperilaku hedonis. Menolong tanpa pamrih misalnya,
perbuatan yang aneh di tengah masyarakat yang menghitung segala sesuatu
berdasarkan transaksi materi. Masing-masing orang berpikirnya untuk
dirinya sendiri (egois). Berprinsip bahwa dengan pengorbanan dengan
sekecil-kecilnya akan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
(kapitalistik), dan setiap orang memiliki kebebasan berbuat apa saja
asal tidak melampaui kebebasan orang lain (liberalistic)
Akhlak adalah kata tunggal yang berasal dari akar kata Kha-la-qa yang
berarti mencipta atau penciptaan. Orang yang berakhlak adalah mereka
yang menyadari arti penciptaan dirirnya dan mengaplikasikan dalam
perikehidupan.
Oleh
karenanya, yang pertama kali harus dilakukan oleh setiap orang agar
berakhlak baik sesuai tuntunan Al-Qur’an adalah menyadari siapa dirinya,
dari manadirinya berasal, mau ke mana perjalanan hidupnya, dan untuk
apa ia dihidupkan di dunia ini.
Berakhlak
baik, tidak hanya ditunjukan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada
Allah sang pencipta. Berakhlak baik kepada Allah justru adalah hal yang
paling pokok dalam konsep Al-Qur’an.
Beribadah hanya kepadanya (tauhid) merupakan ajaran akhlak yang paling
utama dalam Islam. Itulah sebabnya, semua kebaiakan menjadi tidak
berarti sama sekali jika seseorang belum bertauhid.
Dalam
sebuah kisah diceritakan bahwa ‘Aisyah Ra suatu hari mendapati
suaminya, Rasulullah Saw, beribadah sehinggga kakinya bengkak, matanya
sembab, dan pakaiannya basah karena keringat dan air mata.
Melihat
hal itu ia bertanya: wahai Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin
masuk surga? Bukankah engkau juga dijamin terlepas dari dosa (makshum)?
Tapi, mengapa engkau beribadah sampai seperti itu?
Rasulullah
saw membenarkan semua pentanyaan istrinya, lalu ia bersabda: Bukankah
karena itu semua saya harus menjadi hamba yang bersyukur (Abdan
Syakuura).
Itulah Akhlak Rasulullah Saw kepada Allah Swt, pencipta. Karena Akhlak itulah beliau disebut wainnaka la’ala khuluqin ‘adhim (berbudi pekerti yang agung).
Namun, akhlak Qur’ani tak hanya sebatas itu. Setelah mengetahui ihsanullah
(berbuat baik kepada Allah) dan mempraktikkan akhlak mulia secara
vertikal, maka seorang muslim yang berakhlak Qur’ani dituntut untuk
meneladani ihsan Allah secara horizontal. Firman Allah menegaskan:
“…
Dan berbuat baiklah kamu(kepada orang lain) sebagaimana Allah tela
berbuat baik kepada kamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan” (Al-Qashash[28]:77)
Berbuat
baik (ihsan) kepada sesama merupakan manifestasi dari tugas dan fungsi
kita sebagai kholifah dimuka bumi. Untuk mengemban tugas berat itu, dua
hal yang harus kita kembangkan sekaligus, yaitu ma’ar ma’ruf (menyeru kepada kebenaran) dan nayu’anil munkar (mencegah yang munkar). Dua instrumen penting tersebutharus berjalan secara simultan dan berkelanjutan.
Hanya dengan melaksanakan amar ma’ruf dan nayu’anil munkar sajalah kita bisa disebut khoyrul umat, umat yang unggul dan berpestasi. Allah swt berfirman:
“
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyurup
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriamn kepada
Allah.” (Ali Imran [3]:110).
Dengan
demikian, akhlak Qur’ani itu tidak sebatas berbuat baik dan
menganjurkan kebaikan tapi menjaga kebaikan itu dengan proses
penghancuran. Itulah sebabbya jihad dan qital (perang) termasuk akhlak
Qur’ani. Seorang hamba yang membenci jihad dan qital berarti tidak
berakhlak Qur’ani.
Selama
ini orang Islam sendiri tidak mempersepsikan akhlak secara salah.
Seolah-olah akhlak itu hanya bicara soal kesabaran, ketundukan,
kelembutan, dan kesopanan. Mereka belum menyadari bahwa keberanian,
patriotisme, profesionalisme, dan daya juang merupakan bagian penting
dari akhlak Qur’ani.
Untuk memberi gambran utuh bagaimana Al-Qur’an memberi pemahaman kepada kita tentang Muhammad sebagai “The Living Qur’an (Qur’an yang hidup) dalam perspektif horizontal, mari kita simak sebuah ayat dalam al-qur’an:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keislaman dan keselamatan) terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah[9]:128)
Tak ada jalan lain.
Jelaslah tergambar bahwa Rasulullah saw telah menjadikan dirinya sebagai Al-Qur’an
berjalan kemana-mana selalu menularkan energi perubahan bagi para
sahabatnya, serta bagi para manusia pada umumnya. Maka jika hari ini
kita belum menyaksikan perubahan yang berarti peradaban, bisa jadi salah
satu penyebabnya karena kaum muslim belum banya sungguh-sungguh
menjadikan Al-Qur’an kepribadian yang utuh.
Dalam
kondisi peradaban yang tengah morat-marit ini, tidak ada jalan lain
yang harus ditempuh kaum muslimin untuk membangun peradaban Madinah
selain menghujamkan Al-Qur’an ke dalam seluruh dimensi hidup. Dengan kata lain hanya dengan Al-Qur’an kita bisa menyelamtkan dunia. Wallahu’alam.
(Ditulis oleh Hamim Tohari. Sumber: SUARA HIDAYATULLAH | Agustus 2007 | Rajab 1428)
Post A Comment:
0 comments: